PESONA CAFÉ TERAPUNG DI DANAU JODOH “DESTINASI WISATA ALAMI DITENGAH-TENGAH PEMUKIMAN MASYARAKAT” Oleh : Ikhsan Fitra Mw (Rang Sumondo)

Sore mulai menjelang. Permukaan air yang tenang mulai disapu angin timur ditaburi daun-daun pohon Lambau dan Swietenia Mahagoni L. Jacq yang gugur berjatuhan. Ombak kecil yang tiba-tiba muncul memaksa sepeda dayung yang ditambatkan di pinggir bangunan menari-nari seakan riang gembira mengikuti irama musik bergenre dangdut yang distel disebuah laptop. Terasa adem dan syahdu. Perlahan, pengunjung mulai berdatangan. Menyerbu loket pendaftaran sambil mengisi buku tamu yang disediakan petugas. Lalu bergegas memasuki keinginan yang dituju. Ada yang masuk ke wahana sepeda dayung, ada yang berburu ke tempat selfi bergambar love dengan latar cipratan air yang disemburkan dari sebuah pipa yang ditanam, ada yang duduk di café yang terapung di tengah-tengah danau. “Alhamdulilah setiap harinya ada sekitar seratusan yang datang berkunjung bang”ujar Randa, salah seorang petugas. Tak ada yang spesial. Bentuknya biasa saja berupa hamparan air yang terkepung di sebuah danau. Di pinggirnya berdiri gedung-gedung yang dihuni masyarakat tempatan. Menyatu dengan alam. Tempat ini dijadikan sebagai tempat membersihkan diri, sebagai sumber penghidupan dengan mencari ikan segar yang lalu lalang di dalam air bahkan sebagai tempat “bersemedi” dari kusut pikiran yang tak terkendali. Itulah sebuah danau yang diberi julukan Danau Jodoh yang terletak di Desa Sungai Sorik Kecamatan Kuantan Hilir Seberang Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau. Konon, istilah Danau Jodoh ini muncul ketika musim banjir datang, tempat ini dijadikan sebagai arena bermain tempat berkumpulnya kaum muda-mudi dari berbagai pelosok. Bermain sampan dan pelampung. Maklum, kala banjir, tempat ini sangat luas dan bebas berkeliaran. Keasyikan “bakuncah” membuat mereka saling berkenalan dan berujung pada hubungan serius sampai ke jenjang pernikahan. Bagi masyarakat Kuantan, banjir bukan cuma suatu musibah tetapi sebagai musim yang ditunggu. Menikmati main air sepuas hati. Waterpark alami yang muncul oleh takdir tuhan. Tak heran di sebuah balai-balai berarsitektur budaya lokal dipinggir danau ini ada namanya Tepian Timbang Bungo Pengantin. Kala pesta, tempat ini dijadikan sebagai prosesi tukar bunga pengantin laki-laki dan perempuan. Inilah akhir perjalanan hubungan mencari tulang rusuk yang hilang. Bersua jodoh kala bermain saat banjir datang menjelang. Kini, tempat ini sedang bersolek menjadi destinasi wisata dengan segala keunggulan dan keunikannya. Merebut pangsa pasar bersama destinasi wisata lainnya khususnya di Kabupaten Kuansing. Menyambut tahun baru 2020, Sariono selaku Kepala Desa Sungai Sorik bersama pengurus Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) AUR KUNING melahirkan ide creative dengan membuat café terapung sebagai program unggulan untuk menarik minat turis lokal. “Alhamdulillah, dalam suasana tahun baru kemarin turis lokal membludak berkunjung ke sini. Tidak saja turis dari Kuansing tetapi ada juga dari Pekanbaru, Pelalawan, Inhu, Tembilahan bahkan ada juga dari Batam yakni dari Perkumpulan Tionghoa Batam yang diajak oleh seorang warga Baserah etnis Tionghoa.”ujarnya. Ono, panggilan pria ini begitu konsisten dan serius untuk menjadikan desa yang dipimpinnya sebagai tempat tujuan wisata. Untuk mewujudkan itu ada empat point yang akan dilakukan yakni pelebaran café terapung, menambah wahana permainan, menyiapkan perahu hias dan memperbanyak tempat selfi. Sariono sadar dengan penambahan tersebut terutama memperbanyak tempat selfi, wisata ini akan terpromosikan melalui media-media sosial terutama Facebook, Instagram dan WhatsApp sehingga wisata ini akan terpromosi secara gratis melalui dunia maya. “Target kita selanjutnya adalah liburan lebaran Idul Fitri. Kita ingin menggaet turis lokal sebanyak-banyaknya. Apalagi akan banyak orang perantauan pulang kampung tentu mereka ingin mencari tempat-tempat yang asyik untuk berliburan selain pacu jalur. Konsep yang kita tawarkan wisata alami ditengah-tengah pemukiman masyarakat” ujarnya. Lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mengharuskan desa mesti bisa menggarap potensi dan keunggulan desa. Dalam pasal 4 tentang tujuan Pengaturan Desa salah satu pointnya adalah “mendorong prakarsa, gerakan dan partisipasi masyarakat Desa untuk pengembangan potensi dan Aset Desa guna kesejahteraan bersama”. Sungai Sorik sesuai dengan potensi yang dimiliki sangat cocok mengembangkan dan menjadikan sebagai tempat destinasi wisata unggulan. Bahkan pada bulan November yang lalu, Pemerintah Kuansing berkolaborasi dengan Pemerintah Provinsi Riau melaksanakan berbagai ivent bertajuk Festival Sungai Sorik yakni lomba menangkap bebek, lomba menagkap ikan, pacu sampan dan lain-lain. Sekarang tinggal komitmen pengurus BUMDes Aur Kuning beserta pemerintahan desa untuk terus menciptakan ide-ide creative agar tempat ini terus dikunjungi. Agar tak terkesan musiman, minimal sekali dalam 3 bulan diadakan lomba sampan atau kegiatan-kegiatan yang mendatangkan orang banyak. Pemberdayaan masyarakat belum tersentuh. Usaha menjadikan desa ini sebagai tujuan wisata sepertinya tidak diiringi dengan usaha untuk melakukan pemberdayaan masyarakat tempatan. Sehingga masyarakat tempatan tidak merasakan manfaat akan pengembangan potensi tersebut selain hanya merasakan ramainya pengunjung baik sore maupun malam terutama pada hari hari libur. Pemerintahan desa mesti memikirkan pemberdayaan (empowerment) masyarakat secara ekonomi disamping “menjual’ potensi wisata danau. Misalnya, masyarakat tempatan diminta dan dipersilahkan menjual berbagai menu makanan. Makanan ini ditawarkan kepada pengunjung melalui katalog menu yang disediakan. Ketika ada yang pesan, petugas langsung melapor ke warung yang menjual pesanan pengunjung. Untuk pemasukan dana desa/anggaran pendapatan desa, harga dinaikkan sedikit beberapa persen sebagai uang jasa yang digunakan untuk uang operasional atau gaji petugas. Untuk mempermudah pembayaran, digunakan system “satu laci”, kasir diserahkan kepada petugas BUMDes. Kemudian BUMDes menyetor sesuai porsi yang terjual kepada penyedia makanan. Tempat penjualan itu dibuatkan tempat khusus dengan design budaya lokal nan menarik. Di atas dam/tangga batu dipinggir-pinggir danau dibuatkan kursi besi mini sehingga pengunjung bisa duduk dan menikmati jajanan kampung yang ditawarkan. Untuk café terapung, penulis lebih tertarik dibuat kecil berbentuk bulat atau persegi empat untuk muatan 6 orang. Ditengahnya ditegakkan payung untuk berteduh. Café ini diletakkan dibeberapa titik strategis secara terpisah. Pengunjung yang pesan tempat, café ini lalu ditarik ke tengah menggunakan sampan hias sesuai selera atau café ini sudah tertambat ditengah danau secara permanen, pengunjung yang pesan tempat diantar menggunakan sampan hias tersebut dari tempat pemesanan di pinggir danau. Sehingga kesan “CAFÉ TERAPUNGNYA” lebih terasa. Selain berfungsi untuk mengantarkan pengunjung ke tengah-tengah danau di café-café yang tersedia, sampan hias ini juga berfungsi sebagai “Warung Patroli” yang berkeliling mengantarkan dan menjajakan makanan dari café terapung satu ke café terapung lainnya. Sambil menikmati makanan, disekeliling café terapung ini dapat menikmati dan menyaksikan masyarakat tempatan “menyintak” ikan diatas perahu. Ini sengaja disetting kerjasama pemerintahan desa, pengurus BUMDes dan para masyarakat sebagai nilai jual dan daya tarik. Pengunjung yang berminat dengan ikan tersebut dapat membelinya secara langsung atau mungkin pengunjung bisa menyewa “sintak” tersebut dengan tarif tertentu dan ikannya bisa dibawa pulang. Sehingga kesan alami bernuansa “wisata air” sangat terasa dan kental tradisional. Menarik bukan??. Tradisi mencari ikan dengan cara “menyintak” diatas perahu perlu dipertahankan dan atur sedemikian rupa. Sehingga kesan alaminya lebih muncul dan menjadi daya tarik yang unik untuk menarik wisatawan datang berkunjung. Selain mendapatkan kepuasan menikmati liburan, hendaknya diiringi dengan penjualan ole-ole atau cinderamata yang bisa dibawa pulang. Seperti miniature sampan jalur sebagai budaya yang mendarah daging, atau miniature rumah-rumah adat kuansing, gantungan kunci bermotif pendayung, baju bertuliskan wisata Sungai Soriak, dan lain-lain yang membangkitkan ekonomi kerakyatan. Dengan demikian, Pemerintahan Desa selain meningkatan potensi daerah juga mampu melakukan pemberdayaan masyarakat tempatan. Sehingga tujuan Undang-Undang Tentang Desa ini sebagaimana termaktub dalam Bab IX pasal 78 ayat 1 dijelaskan “Pembangunan Desa bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasana Desa, pengembangan potensi ekonomi lokal serta pemanfataan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan” terwujud. Disamping itu, perlu juga penambahan wahana menarik lainnya yang membuat pengunjung mempunyai banyak pilihan untuk menikmati wisata di daerah ini. Seperti flying fox yang melintas diatas danau atau wisata-wisata lainnya. Tak lengkap rasanya liburan anda ke Kuansing sebelum menikmati makanan di atas café terapung. Anda penasaran? Silahkan mencoba. Gunakan Google Maps jika anda tidak tahu lokasinya. Anda juga ingin mempromosikan apapun dalam bentuk tulisan, penulis siap mewujudkan impian anda. Baik biografi, jurnal, bulletin, tempat wisata, dll atau memframing pasangan calon Kepala Daerah dalam menyambut Pilkada serentak 2020..Silahkan hubungi penulis melalui FB ini atau WA 0812-6896-1984.hahahha

Komentar