PACU JALUR BELUM LAYAK BERTARAF “LEVEL DUNIA”
Pacu jalur merupakan
suatu ivent tradisional yang mendarah daging di Kabupaten Kuantan Singingi-
Provinsi Riau – Indonesia. Bagi masyarakat Kuansing mulai tingkat anak-anak
sampai lansia begitu tergila-gila pada budaya pacu jalur yang sudah mendarah
daging. Ivent pacu jalur ini adalah lomba sampan dikenal dengan istilah JALUR
yang berukuran minimal 20 Meter yang diisi antara 45-55 pendayung. Layaknya
perlombaan perahu naga (dragon boat). Bedanya tidak ada gambar kepala naga dan
gendang di perahu. Tetapi akan nampak seorang anak kecil menari-nari di haluan
paling depan yang disebut dengan istilah Tukang Tari, kemudian tukang timbo
ruang yang berada di bagian tengah jalur yang bertugas memberikan komando
kepada anak pacu atau tukang onjai yang berdiri di posisi paling belakang.
Seiring dengan
perkembangan zaman, pacu jalur menjadi suatu ivent yang ditunggu-tunggu. Hal
ini dikarenakan pacu jalur menjadi sebuah “wisata” yang sangat mengasyikkan dan
mampu meningkatkan andrenaline bagi masyarakat tempatan. Apalagi jalur mereka
dianggap yang “TERLAJU” saat itu dan dianggap mampu berprestasi dengan menjadi
JUARA pada setiap gelanggang arena yang diikuti. Dengan menjadi sang JUARA akan
mendatangkan suatu euforia bagi masyarakat dan mampu mengharumkan nama
daerahnya.
Bahkan ada keinginan
masyarakat agar pacu jalur tidak hanya diikuti oleh masyarakat tempatan saja
khususnya Kuantan Singingi atau Kabupaten Indragiri Hulu yang merupakan
kabupaten Induk sebelum Kabupaten Kuansing menyatakan berpisah. Tapi menurut
analisa saya, keinginan sebagian masyarakat agar pacu jalur MENDUNIA, belum
pantas untuk saat ini dengan alasan sebagai berikut:
1. Anggaran
Anggaran untuk pelaksanaan Pacu jalur belum menggambarkan bahwa ivent
ini layak menyelenggarakan acara sekaliber dunia. Berapa persenkah anggaran
pelaksanaan ivent ini pada APBD Kuansing setiap tahunnya?Berapa di APBD
Provinsi Riau yang katanya memasukkan pacu jalur sebagai pariwisata unggulan
pada launching RIAU MENYAPA DUNIA di
Jakarta? yang buat miris tak lama program tersebut di Launching, pihak Provinsi
Riau melalui Dinas Pariwisata dan
Kreatif hanya membantu 3 baliho dan 30 spanduk. Lalu pada acara pembukaan hanya
dihadiri oleh Sekda tanpa Gubernur. Sudahkah menggambarkan dukungan penuh
mewujudkan itu??belum lagi berapa anggaran bantuan dari APBN sebagai salah satu
wujud menggalakan program pariwisata Indonesia dalam slogan PESONA INDONESIA??Bahkan
yang lebih mirisnya pada tahun 2016 yang lalu, Panitia Pelaksana Pacu jalur
mengalami defisit anggaran dan masih mengharapkan bantuan dari salah satu
perusahaan sawit di Kuansing??Itu baru level Kuansing dan Inhu. Bagaimana kalau
sudah level dunia?? Kalau ditanggung sendirian dari anggaran APBD Kuansing,
berapakah utang panitia akan timbul? #Berhenti kita bermimpi
2. Hadiah
Apakah hadiah yang akan diperebutkan oleh pemenang pacu jalur sudah
standar dunia??Hadiah yang diperebutkan pada pacu jalur tingkat nasional yang
dilaksanakan di Tepian Narosa- Teluk Kuantan perlu dikaji ulang seandainya
peserta pacu jalur diikuti oleh pendayung-pendayung dari luar negeri. Coba anda
bayangkan jika yang dapat juara itu negara Myanmar – negara kekuatan baru pada
cabang olaharaga dayung di tingkat Asean - menjadi juara 1. Lalu mereka
mendapatkan 2 ekor kerbau, 1 sapi. Bagaimanakah mereka membawa kerbau tersebut
ke Kamboja??. Berbeda jauh dengan kejuaraan Dragon Boat DBS Marina Regatta di Singapura yang
memperebut hadiah hampir $30.000 atau sebesar Rp. 411.000.000 (kurs Rp. 13.700) untuk pendayung 22 orang dan
$10.000 untuk pendayung 12 orang. Dan ada istilah uang pendaftaran $40/pendayung.
Kejuaraan ini merupakan ivent terbesar untuk kategori Asia. Bahkan di Serawak
(Malaysia) kejuaraan ini memperebutkan hadiah Rp. 100.000.000 (seratus juta
rupiah) tetapi akomodasi serta tiket di tanggung pihak kerajaan. Pacu Jalur???
#berhenti kita bermimpi
3. Merubah Status Piala
Saat ini pacu jalur sudah berumur 114 tahun. 1 abad lebih. Suatu
perjalanan yang sangat panjang. Tentu diikuti oleh inovasi-inovasi demi
kesempurnaan pacu jalur dan menambah daya tarik untuk disaksikan. Bagi pemenang
juara pertama selain mendapat kerbau, sapi dan uang juga mendapatkan piala
bergilir dari menteri pariwasata Republik Indonesia. Dengan ketentuan, piala
tersebut akan menjadi milik sang juara secara permanen jika mampu menjadi sang
juara 3 (tiga) berturut-turut. Seandainya ketentuan tersebut selama 20 tahun
belum pernah di capai oleh para jalur-jalur sebagai peserta, bagaimanakah kondisi
piala tersebut?. Tidak ada sebuah gerakan untuk merubah status piala tersebut
dari memperebutkan Piala Menteri menjadi Piala Presiden Republik Indonesia.
Setahu saya sampai hari ini, tidak ada tanda-tanda bentuk perjuangan oleh
Pemerintah Kabupaten Kuantan Singingi atau Pemerintah Provinsi Riau untuk
memperjuangkan itu. Kecuali pada tahun 2008, sebuah organisasi mahasiswa yaitu
IPMAKUSI Pekanbaru pernah mengirimkan surat ke Presiden Soesilo Bambang
Yudhoyono (SBY) untuk perubahan status tersebut dan menjadi Piala Presiden
pertama yang diperebutkan pada ivent pacu jalur. Tapi surat tersebut tidak
berbalas. Maklum, secara kewibawaan seharusnya Pemkab Kuansing atau Pemprov
Riau yang memperjuangkan hal tersebut. Bahkan pacu sampan di Buluh Cina –
Kampar saja memperebutkan piala presiden meskipun sekarang pacu sampan tersebut
tidak terdengar lagi. #berhenti kita bermimpi
4. Sudahkah diakui Lisensi Pacu Jalur?
Lisensi pacu jalur sangat perlu agar menjadi daya tarik tersendiri bagi
pendayung-pendayung lain untuk ikut berpartisipasi. Lisensi disini adalah bahwa
olahraga ini diakui secara nasional atau internasional (dunia). Hal ini penting
agar pengakuan ini membawa dampak positif bagi pendayung-pendayung lain.
Misalnya seorang atlet tertarik untuk berkecimpung pada salah satu cabang
olaharaga dikarenakan ada nilai jual bagi kehidupannya. Baik secara ekonomis
maupun pekerjaan. Misalnya, bagi atlet Dayung yang mendapat mendapatkan medali
emas pada PON mendapatkan satu tiket untuk diterima sebagai PNS disalah satu
instansi pemerintah, ditambah dengan bonus ratusan juta, dll. Kemudian pada
kejurnas-kejurnas yang diikuti mereka meskipun tidak mendapatkan uang tapi
usaha mereka dihargai oleh daerah dengan memberikan bonus uang atau uang
pembinaan oleh Pemerintah setempat atau KONI yang bersangkutan.
Untuk mencapai itu, seharusnya Pemerintah Kabupaten Kuantan Singingi
melobi induk olahraga Persatuan Olahraga Dayung Seluruh Indonesia (PODSI) agar
memasukkan pacu jalur sebagai salah satu nomor yang dipertandingkan. Sama
halnya dengan Canoe, Kayak, Rowing, Perahu Naga (Dragon Boat), dll. Dengan
memasukkan pacu jalur sebagai salah satu nomor maka akan dipertandingkan pada
kejuaraan-kejuaraan resmi organisasi ini tidak hanya di Kuansing tapi pada
daerah-daerah lain yang menjadi tuan rumah. Sedangkan untuk pacu jalur di
Kuansing menjadi kalender resmi tetap sebagai tuan rumah. Sehingga ke depan,
pacu jalur bukan menjadi kalender pariwisata nasional tapi juga menjadi
kalender resmi PODSI yang ditetapkan oleh Pengurus Besar (PB) organisasi ini.
Sehingga dengan kalender tersebut, PODSI akan mengirimkan surat kepada
organisasi daerah secara nasional atau organsasi yang berkedudukan di dunia
internasional dengan berbagai ketentuan.
Jika sudah menjadi kalender resmi PODSI secara nasional dan masuk dalam
nomor yang dipertandingkan, sangat memudahkan Pemkab Kuansing atau Pemprov Riau
untuk menata pacu jalur ini untuk mendatangkan turis lokal dan nasional. Secara
tidak langsung sudah terpromosi kepada masyarakat-masyarakat khususnya
pendayung-pendayung yang dibina oleh Podsi Daerah. Dan keikutsertaan mereka pun
akan di publikasikan oleh media-media lokal dan daerah dan Kuansing akan
terpromosi secara gratis.
Kita lihat dari pelaksanaan pacu jalur selama ini, jalur-jalur yang
bertarung hanya memperbutkan hadiah dari panitia saja tidak ada apresiasi atau
penghargaan dari daerah khususnya jalur Kuansing yang mampu mengharumkan nama
Kabupaten dengan mengalahkan jalur-jalur andalan dari Kabupaten Indragiri Hulu.
Sedangkan jalur-jalur dari Indragiri Hulu yang mempu berpretasi mendapatkan
bonus dari pemkab Inhu.
Kejuaran balap sepeda Tour de Siak atau Tour de Singkarak menurut
pengetahuan saya menjadi salah satu iven yang diakui dunia dan menjadi salah
satu agenda rutin tahunan. Dan iven organisasi daerah/pemerintah membayar iuran
wajib kepada badan olahraga dunia baik asia maupun dunia. Jika mereka tidak
melaksanakan kegatan tersebut, maka mereka dikenakan sanksi atau denda. Pacu
jalur? # Berhenti kita bermimpi
5. Panitia Bersifat nasional.
Jika pacu jalur sudah masuk sebagai salah satu nomor yang
dipertandiingkan pada cabang olahraga Dayung dan menjadi agenda rutin
organisasi PODSI tentu bersifat nasional juga yang terdiri dari orang-orang
pusat (Kemenpora/PB PODSI) dan lokal (Riau atau Kuansing). Tidak dipimpin langsung
oleh Sekda/Kadis Pariwisata seperti selama ini dilakukan? #berhenti kita bermimpi.
6. Bagaimana dengan lokasi pertandingan.
Tempat pelaksanaan pacu jalur tingkat nasional setiap tahunnya
dilaksanakan di Tepian Narosa-Teluk Kuantan. Tempat ini sudah menjadi tempat
“keramat” secara turun-temurun. Tetapi sudahkah tata ruang dan tata letak atau
modelnya sudah menggambarkan bahwa ivent ini sudah mendunia? Jangan-jangan kita
hanya memperomosikan sungai yang keruh (akibat dompeng) dan jorok.. #berhenti kita
bermimpi.
7. Seandainya kejuaraan tersebut diikuti oleh 5 negara dan
provinsi-provinsi di Indonesia, dimanakah mereka diinapkan? Tak mungkin kita inapkan
di Pekanbaru dengan jarak tempuh 4 jam. Tersediakah?? #Berhenti bermimpi
8. Adanya statement seorang anggota DPRD Kuansing yang menyatakan Pacu
Jalur tidak mendatangkan PAD bagi Kuansing bisa jadi betul adanya dan terkesan
menghambur-hamburkan uang rakyat Kuansing. Apa yang didapat oleh Kuansing dari
pelaksanaan pacu jalur?? Perlu terobosan semua pihak agar dengan menjual wisata
PACU JALUR juga meningkatkan PAD Daerah. #berhenti kita bermimpi
9. Bisa saja kita tetap melaksanakan pacu jalur tradisional seperti
sekarang ini tetapi satu hari setelah pelaksanaan ivent tradisional ini baru
untuk tingkat dunia dilaksanakan sehingga sebelum bertanding mereka bisa
menyaksikan budaya lokal kita secara langsung dan mempromosikan ke lingkungan
negara mereka. Apalagi kecanggihan dunia zaman ini, manusia berada pada prilaku
SUKA SELFIE melalui SMARTPHONE sehingga bisa dilihat lebih banyak para pengguna
MEDSOS.
Dari uraian diatas,
saya menyimpulkan bahwa pacu jalur yang kita banggakan selama ini belum layak
untuk menyandang level TARAF DUNIA jika dilihat dari kondisi sekarang. Hal ini
didasarkan bahwa semenjak kita mengenal pacu jalur belum nampak terobosan-terobosan
yang SPEKTAKULER PEMERINTAH (LOKAL/NAIONAL) menuju arah sana. Kita hanya banyak
berstatement di media-media tetapi tidak diikuti oleh kerja nyata. Pihak
Pusat/Provinsi maupu Pemkab perlu bersinergi untuk mewujudkan mimpi ini agar
IVEN PACU JALUR ini betul-betul menjadi objek andalan pariwisata Indonesia.
Kalau tidak, lebih baik kita BERHENTI KITA BERMIMPI. Salam
Komentar
Posting Komentar