AURA BARU POLITIK KUANSING

AURA BARU POLITIK KUANSING (Meneroka Langkah Seorang Dokter Di Pilkada Kuansing)
Kita awali tulisan ini dengan sebuah kasus terpilihnya seorang pelawak sebagai seorang presiden Ukraina. Ya, seorang pelawak yang tidak mempunyai pengalaman politik. Dia hanya berpengalaman sebagai presiden di suatu film serial komedian yang beliau bintangi yang berjudul “Servant of the people” atau Pelayan Rakyat. Tidak lebih dari itu. Dia adalah Volodymyr Zelensky seorang komedian yang mampu mengalahkan petahana Petro Poroshenko dengan meraup 73 persen suara dari 94,86 persen suara pemilih yang memberikan hak pilih. Padahal, negara ini menghadapi masalah besar yakni korupsi, konflik dengan Rusia dan melambatnya pertumbuhan ekonomi dan dinyatakan sebagai negara paling miskin di Eropa. Tapi kok rakyat menginginkan seorang pelawak sebagai seorang presiden menyelesaikan kasus besar tersebut? Aneh!!!. Para pendukung Poroshenko “sang penantang” menyatakan sebagian besar warga sudah gila dengan mempercayakan seorang pelawak sebagai seorang presiden, menyelesaikan masalah besar yang dihadapi negara. Bisa jadi ungkapan “Lihat kami! Segalanya mungkin” membuat Zelensky optimis mampu menaklukan pertarungan meskipun kata-kata itu sebenarnya beliau alamatkan kepada Rusia. Meskipun visi dan misinya sebagai seorang calon presiden tak terungkapkan secara jelas, kunci kemenangan Zelensky adalah rakyat sudah muak dengan tingkah para politisi dan penguasaan bisnis oleh oligarki. Yang muncul hanyalah kebohongan-kebohongan. Alasan utama masyarakat Ukraina memilih sang pelawak bukan karena program-programnya tetapi ingin menghukum Poroshenko “sang petahana” dan kroninya. Mereka tidak peduli apakah Zelensky pelawak dan tidak berpengalaman dalam politik, tetapi rasa jenuh dengan ulah politisi yang “melawak” ketika mengurus negara mengantarkan Zelensky terpilih sebagai presiden. Mereka bertaruh untuk memilih muka baru untuk memimpin Ukraina. Inilah politik, sesuatu yang tidak mungkin bisa jadi mungkin. Sekarang, kita geser kursor pembahasan kita ke ruang induktif pada skala yang lebih kecil dengan locus Kabupaten Kuantan Singingi. Kabupaten Kuantan Singingi termasuk salah satu Kabupaten yang akan melaksanakan Pilkada Serentak untuk memilih Kepala dan Wakil Kepala Daerah bersama 9 Provinsi, 37 Kota dan 224 Kabupaten dengan jumlah pemilih (berdasarkan DP4) 107,5 Juta jiwa. Euforia penyambutan helat ini beragam termasuk oleh pasangan calon yang berniat maju dengan berbagai tawaran program untuk memenangkan pertarungan. Partai Politik sebagai kendaraan mengantarkan sah tidaknya sang calon ikut bertarung ikut memainkan peran. Menjual label berupa ideologis, massa, system, termasuk jumlah kursi di lembaga legislative. Dari berbagai tingkah pola situasi politik lokal saat ini dengan kehadiran calon-calon yang menyatakan minat maju, kehadiran dr. Fahdiansyah yang dikenal dengan nama dokter Ukup untuk maju sebagai calon bupati patut kita apresiasi. Kehadiran beliau untuk terjun ke kancah politik seakan membawa aura baru di dalam deretan nama-nama politikus beken lokal. Aura dimana ada pilihan masyarakat terhadap sosok baru diluar lingkaran nama-nama politisi yang selalu wara-wiri dalam perebutan kursi kekuasaan di Kuansing. Sebut saja Andi Putra (penerus Sukarmis/bupati dua periode), Mursini (dua periode duduk di eksekutif sebagai wakil bupati dan wakil bupati), H. Halim (wakil bupati saat ini), termasuk politisi lain yang pernah duduk di lembaga legislative baik kabupaten maupun provinsi. Aura baru yang muncul adalah calon alternative yang bisa menetralkan tiga kutub yang sedang berseteru yakni kutub Andi Putra, kutub Mursini dan kutub Halim. Tak bisa dipungkiri, kutub Andi Putra (trah Sukamis), Kutub Mursini dan Kutub Halim (sebagai gank Zulkifli) berada pada rivalitas yang tidak berkesudahan. Selalu terseret pada arus kepentingan. Tak ada yang istimewa sebenarnya dengan kehadiran beliau mencalonkan diri. Tetapi yang membuat menarik adalah beliau berprofesi sebagai seorang dokter dan sejak Kuansing berdiri belum pernah ada seorang dokter ikut bertarung. Agak unik dan menjadi daya tarik. Selama ini calon-calon yang maju selalu didominasi oleh politikus tulen yang bertungkus lumus dalam system kaderisasi partai politik. Dan agak rentan juga kader-kader partai politik berkoalisi mendudukkan kadernya di lembaga eksekutif sebagai kepala daerah. Rentan “talak” akibat kepentingan yang berbeda pula. Terpisah di persimpangan kekuasaan. Sukarmis-Mursini, Sukarmis-Zulkifli dan Mursini-Halim. Kehadiran Fahdiansyah dianggap sebagai pengurai persaingan kutub-kutub yang berseteru tersebut. Sehingga gap-gap politik yang menyebabkan terjadinya pergesekan di masyarakat bisa disatukan. Dilihat dari analisa psikologis masyarakat ada semacam kejenuhan terhadap calon-calon yang berlatar belakang politisi. Jangan-jangan Pilkada ini dijadikan momentum bagi masyarakat untuk menghukum tiga kutub tadi. Sebagai calon yang berprofesi sebagai seorang dokter yang dibesarkan dalam dunia birokrat kehadiran beliau dianggap sebagai calon alternatif untuk diberikan kesempatan memimpin Kuansing untuk lima tahun mendatang dengan alasan beliau berada pada kutub yang netral. Tentu, untuk mencapai keinginan tersebut, beliau harus mampu menjadi aktor dalam berakting disetiap pertunjukan-pertunjukan skenario politik yang dihadapi. Langkah beliau masih panjang untuk berjuang meyakinkan semua lini termasuk partai politik. Sesuai ketentuan, salah satu syarat maju menggunakan partai politik adalah didukung minimal 20% dari jumlah kursi di legislative yakni minimal 7 kursi. Sebagai seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang tidak duduk sebagai kader partai tertentu butuh ekstra mendapatkan dukungan. Berhadapan dengan segala tetek bengek prilaku individu pejabat partai politik. Lain halnya calon dari kader partai politik yang mempunyai kursi mayoritas di legislative. Meskipun belum berpengalaman dalam dunia politik lokal apalagi memperebutkan kursi sebagai kepala daerah, beliau harus mampu menempatkan diri sebagai calon alternative sebagai anak muda yang siap membawa Kuansing ke arah yang lebih baik, creative menarik simpati masyarakat, dan memanfaatkan kejenuhan masyarakat terhadap kutub-kutub diatas tadi. Sebagai seorang dokter tentu beliau sudah paham dengan resiko disetiap keputusan yang diambil, tidak melakukan “malpraktek”yang mampu mencelakakan dirinya, kapan waktu yang pas untuk bertindak dan kapan mengungkapkan rasa lega dari setiap perjuangan. Ronal Reagan menyatakan Politik itu tak ubahnya bisnis pertunjukkan. Hati-hati dokter.

Komentar