URBANISASI PENGUSAHA KE PENGUASA (POLITIK):

Tulisan masa jedah URBANISASI PENGUSAHA KE PENGUASA (POLITIK): PASANGAN PRIMADONA YANG INGIN DI GANDENG SAAT PILKADA?? Tulisan Anies Baswedan yang diterbitkan media Kompas pada tanggal 31 Oktober 2006 yang lalu tentang pergerakan Rulling Elite sepertinya kita rasakan saat ini. Trend perubahan itu dibuktikan dengan munculnya kalangan enterprener dan professional bisnis memasuki wilayah politik saat ini. Dominan dapat dilihat pada pelaksanaan Pemilihan Legislatif beberapa waktu lalu. Bahkan menjadi idola untuk diajak “bergandengan tangan” untuk berjuang dalam perebutan kekuasan dan menjadi perebutan partai politik untuk meningkatkan nilai tawar di legislative daerah untuk merebut perolehan kursi sebanyak-banyaknya. Locus dan focus kita pada pembahasan ini pada pemilihan kepala daerah (Provinsi/Kabupaten/kota). Haramkah?. Keterlibatan pengusaha ke dalam wilayah politik tentu tidak dilarang, sama halnya dengan mereka yang berlatar belakang militer, teknisi, birokrat/mantan birokrat, dokter yang merasa terpanggil dalam pengabdian sebagai pengambil dan pihak eksekusi suatu kebijakan, mereka punya kesempatan yang sama dalam berpolitik. Tetapi yang dikhawatirkan adalah terjadinya “Dwifungsi Pengusaha dan penguasa” yakni conflich of interest. Ada beberapa Indikator primadonanya para pengusaha untuk di seret ke dalam wilayah politik: 1. Tingginya biaya lobi-lobi politik parpol. Sesuai dengan ketentuan undang-undang bahwa syarat maju pasangan calon kepala daerah yakni mendapatkan dukungan 20 persen suara dari perolehan kursi di DPRD atau 25% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD sebagiaman tertuang dalam pasal 40 Undang-undang no 10 tahun 2016. Syarat ini telah menempatkan partai politik memiliki peran yang sangat penting terhadap maju atau tidaknya pasangan calon. Sistem partai yang bersifat oligarki mau tak mau cost yang dikeluarkan untuk lob-lobi politik sangat mahal. Terutama menembus rulling elite di tingkat pusat (DPP) sebagai penentu legalitas dukungan terhadap pasangan calon. Meskipun sebenarnya ada dukungan alternative melalui jalur independen tetapi dukungan partai bagi sebagian orang lebih simple dan mempunyai dukungan yang kuat karena memiliki jaringan yang sudah terbentuk. Meskipun sebenarnya jaringan-jaringan partai tidak sepenuhnya mengikuti instruksi yang keluarkan oleh pengurus partai yang lebih tinggi. Sentralnya “Restu” dan legalitas Pengurus Pusat (DPP) yang dijadikan acuan dan pegangan bagi pengurus partai di daerah untuk mengusung pasangan calon oleh partai tertentu membuat posisi tawar pengurus partai di tingkat daerah (provinsi/kabupaten/kota) pada posisi lemah. Ada kontestan memilih main “pangkas” dengan langsung pendekatan ke DPP tanpa melibatkan pengurus di tingkat kabupaten/kota atau provinsi. Meskipun dalam ketentuannya dalam pendaftaran pasangan calon didaftarkan oleh pengurus partai politik atau gabungan partai politik di tingkat daerah dimana pasangan calon tersebut maju mencalonkan diri. Lobi-lobi inilah yang membutuhkan dana yang besar bagi kontestan untuk mendapatkan dukungan partai politik sebagai syarat maju pada Pemilihan Kepala Daerah. Tingginya cost tersebut, membuat pasangan calon untuk mempertimbangkan matang-matang “kemampuan dompet dan rekening” pasangan masing-masing. Salah satu syarat penting yang harus dipertimbangkan adalah kemampuan finansial. Inilah yang terkadang membuat pasangan calon dan juga partai politik untuk menyeret “pengusaha” untuk masuk dalam ranah politik. Meskipun belum mahir dalam berpolitik dan juga jiwa kepemimpinan yang belum teruji, kemampuan finansial dianggap sudah terpenuhi untuk bertarung dalam kancah politik kekuasaan. 2. Selebritisasi Politik Untuk meningkatkan popularitas, elektabilitas dan membangun identitas politik pasangan calon, iklan politik sangat dibutuhkan sebagai alat komunikasi politik dalam rangka membangun citra (image). Iklan – iklan politik ini menyebar dalam bentuk baliho-baliho, spanduk, media massa (online/cetak/audio/audiovisual), seragam kampanye atau dalam bentuk media sosial. Ini dilakukan sebagai usaha mentransfer makna politik pasangan calon kepada pemilih secara luas di dalam panggung politik. Sadar atau tidak, kontestan harus menyediakan dana yang besar untuk memperkenalkan diri melalui iklan politik. Belum lagi bagi kontestan yang kurang populer ditengah-tengah masyarakat. Perlu perjuangan agar konstruksi figure untuk meningkatkan kepopuleran semakin dikenal dekat oleh para pemilih. 3. Kultur Pemilih Kultur politik masyarakat (pemilih) yang lebih cenderung mempertimbangkan kuantitatif-material daripada integritas atau kualititatif konstentan. Kultur pemilih yang kuantitatif-material tersebut membuka ruang dan celah kepada para pemodal untuk masuk dalam wilayah politik. Dengan harapan, kekuatan modal yang dimiliki akan mampu mempengaruhi pemilih sebagai pihak eksekutor dalam menentukan keterpilihan kontestan disamping untuk memuluskan menjalankan trik, strategi dan mesin politik secara maksimal. Sebaik dan sebagus apapun visi, misi dan program-program kerja yang ditawarkan para kontestan tidak akan bernilai apa-apa tanpa diiringi dengan pendekatan “fee” kepada para pemilih. Penilaian kualiTAS kontestan berbeda jauh dengan kekuatan isiTAS. Mayoritas isiTAS sangat menentukan keterpilihan kontestan daripada kualiTAS. Politik transaksional yang menjalar secara merata menjadikan pertarungan demokrasi bukan lagi dilihat dari kepantasan untuk menjadi seorang pemimpin tetapi cenderung berpikir jangka pendek untuk mendapatkan keuntungan sesaat dari kontestan dengan menjadikan mereka sebagai “perburuan rente”. Ini yang menyebabkan bahwa para kontestan mesti memiliki dana yang cukup besar untuk memenangkan pertarungan. Dari beberapa indikator diatas, tentu kita tak berharap sampai kapanpun bahwa masuknya Pengusaha ke dalam wilayah politik hanya untuk mengejar rente dan mempertahankan kepentingan bisnis., memperoleh akses sumber daya ekonomi bahkan monopoli. Yang paling berbahaya terjadinya split personality : kebijakan dan sumber daya publik dinikmati oleh kelompok bisnisnya. Kalaulah biaya politik kita semakin tinggi dan tidak diiringi oleh pendidikan politik masyarakat untuk membangun kultur yang berintegritas, bukan tidak mungkin, sector-sektor kekuasaan akan dikuasai oleh para “saudagar politik” untuk menguasai objek-objek wilayah politik dan menari diatas kepentingan bisnis. Riset Yoshihara Kunio (1990), Richard Hefner (1998) serta Robinson dan Hafiz (2004) mengkonfirmasi bahwa pengusaha adalah pemburu rente dari hasil selingkuh kepentingan dengan penguasa. Bahkan Lucky Djani daam tulisannya menyatakan bahwa kelompok bisnis inilah yang tertarik untuk berpolitik. (bersambung)

Komentar