MENGUJI BUAS UAS DI PILPRES (PART I)

Perjalanan politik Indonesia semakin ketat dan sempit. Terutama dalam pencalonan presiden yang diusung partai politik. Sesuai dengan undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang diperkuat dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak gugatan uji materi terkait pasal ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Treshold (PT), syarat calon presiden mendapatkan kursi DPR sebanyak 20 persen atau mendapatkan suara nasional 25 persen. Dilihat dari komposisi partai politik saat ini yang dibangun atas dasar koalisi berkemungkinan hanya dua pasang calon presiden yang akan bertarung memperebutkan kursi Indonesia 1 dan 2 tahun 2019 mendatang. Meskipun sudah hampir 5 tahun berlalu, rivalitas antara Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dibawah komando PDI P mendapat dukungan melimpah ruah sedangkan Koalisi Merah Putih (KMP) dibawah komando Gerindra, PKS dan PAN tetap saja terjadi. Hal ini menyebabkan bahwa untuk Pilpres tahun 2019 juga diikuti 2 pasang calon sebab calon presiden yang berniat maju dari jalur independen belum bisa meretas mimpi sebab belum ada aturan yang mengatur. Terlepas dari perjalanan politik negara, tampilnya Ustad Abdul Somad (UAS) sebagai salah seorang yang direkomendasikan maju sebagai Wakil Presiden mendampingi Prabowo tentu buat kita tercengang. Beliau tidak pernah digadang-gadangkan maju sebagai Cawapres apalagi sebagai menteri. Jangankan orang lain, dia sendiripun tak menyangka jalan hidup beliau ditakdirkan seperti ini. Menjadi sosok yang dipertimbangkan untuk ikut terlibat dalam pengambilan keputusan negara atau ikut mewarnai dinamika kehidupan dalam hidup berbangsa. Beda halnya dengan Tuan Guru Bajang (TGB) yang digembor-gemborkan menjadi calon alternative mewakili kalangan Islam. Bahkan pada suatu kesempatan UAS pernah menyatakan akan mendukung TGB jika dipercayakan maju sebagai presiden maupun wakil presiden. Berputar haluannya Tuan Guru Bajang (TGB) mendukung Jokowi untuk dua periode, membuat umat tersentak. Di dalam dunia politik keputusan yang diambil TGB hal yang biasa, tetapi bagi sebagian kalangan tentu keputusan tersebut dianggap melukai hati umat Islam. Sebab selama ini keputusan dan kebijakan pemerintah bagi sebagian orang dianggap tidak berpihak kepada kalangan islam dan TGB sebagai symbol ke_Islam_an dianggap mampu membawa aspirasi umat. Ketika TGB berputar haluan, analisa saya waktu itu Ustad Abdul Somad (UAS) layak dipertimbangkan untuk maju sebagai Calon Wakil Presiden. Ini pernah saya utarakan kepada seorang kawan tentang analisa tersebut. Rata-rata diantara mereka bilang “UAS lebih baik fokus ke dakwah”. Alasan analisa kunci saya bahwa UAS layak dipertimbangkan dikarenakan beliau terus melakukan safari dakwah tiada henti. Dan kedatangan beliau selalu ditunggu dan membludak mendengarkan tausiyah yang disampaikan. Kampanye politik modern ini telah berjalan menggunakan kaidah-kaidah bisnis, termasuk prinsip-prinsip pemasaran yaitu: marketing research, market segmentation, targeting, positioning, strategy development dan implementation. Ini dikemukan oleh Bruce Newman (1994) dalam bukunya The Marketing of The President: Political Marketing as Campaign Strategy. Perubahan-perubahan dalam demokrasi politik telah memperlihatkan bahwa kecenderungan terhadap stylisasi estetika (aesthetic stylisation) itu berlangsung alamiah dan tak mungkin dihindari dalam sistem pemilihan langsung. Kecenderungan natural inilah yang menjelaskan mengapa citra, yang dimiliki kandidat semakin berpengaruh terhadap pemilih dalam menentukan pilihan politiknya. Selama menjadi seorang pendakwah, UAS telah menancapkan popularitas dan juga integritas terhadap sosok pribadi yang pintar, keras, dan terkadang tegas. Bahkan sangat BUAS terhadap isu-isu sensitive ketika simpang siur pendapat mulai membingungkan umat. Penyampaian – penyampaian dan alasan dasar yang berpegang kepada Al Quran dan Sunnah atau juga pendapat para ulama mulai menyadarkan umat. Hebatnya, beliau tidak pernah memvonis bahwa ajaran itu salah atau benar, tapi mengembalikan kepada umat paham mana yang diikuti dan itu bersifat konsisten. Meskipun beliau beraliran imam Syafi’I tetapi beliau tidak pernah menyalahkan ajaran imam-imam lainnya seperti yang pernah saya tulis terdahulu yang bertema UAS membangun narasi besar untuk umat. Kita kembali ke politik, “blusukan religius” yang padat, berdakwah siang dan malam tiada henti, antusias untuk mengundang beliau yang harus antri berbulan-bulan menandakan bahwa umat sangat rindu dan sangat cinta dengan sosok seperti beliau. Tindakan ini telah menancapkan “keharuman” nama beliau dan sudah melekat dihati masyarakat. Belum lagi serangan lawan yang tidak sepaham telah melambungkan nama beliau dan simpati umat. Faktor inilah yang menurut penulis menjadi indikator bahwa seorang UAS LAYAK didukung sebagai seorang calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto sesuai dengan hasil Ijtima’ Ulama beberapa waktu lalu untuk mengalahkan petahana yang didukung partai besar. Popularitas yang tinggi dianggap tidak sulit dan butuh dana besar untuk mentransfer makna politik kepada sang pemilih. Sebab Ustad Abdul Somad dianggap sudah mewakili kalangan muslim mayoritas untuk mendulang suara. Hemat penulis, untuk menjaga netralitas ulama kharismatik seperti UAS ini alangkah baiknya sejenak UAS tidak ikut dalam kontestasi pilpres. Saya sepakat apa yang beliau sampaikan untuk menjadi SULUH DI TENGAH KELAM, SETETES EMBUN DI TENGAH SAHARA. Dikhawatirkan, keterlibatan UAS dalam politik tingkat tinggi akan menenggelamkan beliau ke dasar terendah, tak dianggap, dicaci maki hingga kita tersadar bahwa kita telah menyeret beliau terlalu jauh. Saya lebih mood kalau UAS di”magang”kan sejenak di tingkat pemerintahan negara sebagai seorang Menteri Agama sesuai backround keilmuan yang dimiliki. Banyaknya desakan agar UAS maju dan menerima pinangan sebagai seorang Cawapres patut kita pahami terutama suara-suara Riau yang menginginkan peluang itu diambil dengan alasan untuk mengangkat marwah Riau dikancah nasional. Termasuk kami warga Kuansing, yang secara tidak langsung mendapat imbas untuk mendapatkan posisi sebagai ibu Negara dengan alasan istri beliau berasal dari Baserah – Kuantan Singingi. Tetapi alasan kita tidak cukup sampai disitu, permasalahan negara yang komplit menjadi “IJTIMA’ KITA BERSAMA” bahwa kita juga butuh pemimpin yang menjaga dan mampu mengembalikan umat kepada kemurnian ajaran islam disaat hadangan ajaran sekuler dan liberal yang tak terbendung. Bersambung ke Part II

Komentar