MEMPERTARUHKAN "SUARA TUHAN"

Judul diatas menghipnotis saya secara pribadi dilihat atas euforia kita dalam berdemokrasi yang dibalut oleh keindahan ber_otonomi daerah. Pernahkah anda mendengar istilah SUARA RAKYAT ADALAH SUARA TUHAN (Vox Populi Vox Dei). Entah siapa yang mencetuskan pertama kali hingga kata-kata tersebut lahir ke muka bumi ini. Istilah tersebut adalah suatu pernyataan yang cukup populer di masa pencerahan (renaesance), ketika rakyat mulai berani menggugat hegemoni penguasa absolut. Mungkin bisa saja itu benar jika SUARA-SUARA yang diteriakan itu adalah tentang suatu kebenaran yang kita yakini sesuai dengan keyakinan kita anut. Apalagi suara-suara itu muncul dari para rakyat biasa yang bertumpu pada kebijakan pimpinan baik daerah maupun nasional. Bisa jadi suara-suara tersebut hadir dikarenakan kebijakan-kebijakan pimpinan yang salah dan merugikan mereka secara umum. Baik disampaikan melalui cara demonstrasi maupun melalui suatu pertemuan-pertemuan.
Lalu bagaimana dengan SUARA-SUARA RAKYAT yang hadir tanpa irama keindahan dan melodi perjuangan, tidak terdengar tapi tampak hasilnya yaitu SUARA RAKYAT yang telah memenuhi syarat sebagai pemilih untuk menentukan pemimpinnya seperti yang baru saja kita lewati yaitu Pilkada Serentak. Ya, SUARA yang diberikan di balik Tempat Pemungutan Suara (TPS) masing-masing untuk memberikan kepercayaan kepada calon yang akan menjadi pemimpin di suatu daerah. Memang euforia berpolitik ini sudah memasuki sendi-sendi kehidupan masyarakat kita saat ini. Dari yang muda yang belum cukup umur sampai yang sudah pikun sekalipun begitu ikut terlibat pada politik lokal ini baik sebagai tim sukses maupun ikut menilai calon-calon yang maju sesuai dengan penilaian sendiri. Memang era otonomi daerah ada tiga pokok yang diperlukan diantaranya political equality yaitu guna meningkatkan partisipasi politik masyarakat pada tingkat daerah. Hal ini penting artinya untuk meningkatkan demokratisasi dalam pengelolaan negara.Disamping Local Accountability dan Local Responsivess. Dan pemberian hak politik pada Pilkada Serentak pada tanggal 9 Desember 2015 yang lalu adalah salah satu bentuk partisipasi kita dalam membangun negara dengan memberikan kepercayaan kepada pasangan calon yang dianggap  PROFESIONAL, KAPABALITAS, DAN BER_INTEGRITAS memajukan daerahnya. Kalau kita sangkutkan ke istilah Vox Populi Vox Dei tadi tentulah pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak adalah suatu kehendak yang tidak bisa diganggung GUGAT. Sebab mayoritas RAKYAT telah menjatuhkan pilihan kepada pasangan calon itu dan mengantarkannya menjadi pemenang yang telah ditetapkan oleh KPUD. Tapi tidak secara gamblang itu kita meng_klaim bahwa itu adalah “SUARA TUHAN” sebab SUARA RAKYAT yang telah dititipkan kepada pasangan yang kalah pun juga “SUARA TUHAN”. Itu berlaku bahwa “SUARA TUHAN” bagi yang MAYORITAS maupun MINORITAS adalah HAK SUARA yang diberikan atas dasar KEMURNIAN suatu KEBENARAN bukan atas dasar kehendak atau iming-iming baik UANG maupun JABATAN.
Sekarang, SUARA_SUARA itu dipertaruhkan di Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menguji kemurnian dan kebenaran. Baik kebenaran pasangan calon dalam mengikuti proses Pilkada maupun kebenaran KPUD sebagai penyelenggara yang diamanatkan oleh undang-undang. Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam UU Mahkamah Konstitusi pasal 10 adalah (4) Wewenang mahkamah konstitusi untuk memutus perselisihan yang terjadi akibat hasil dari pemilihan umum. Meskipun Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan pengujian Pasal 236 C UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 29 ayat (1) huruf e UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman terkait kewenangan MK mengadili sengketa Pemilukada. MK menilai kedua pasal itu bertentangan dengan UUD 1945 (inkonstitusional). Namun, kewenangan sengketa Pemilukada masih menjadi kewenangan MK hingga ada Undang-Undang pengganti.
Dari 9 Kabupaten/Kota yang melaksanakan Pilkada Serentak di Provinsi Riau, 8 Kab/Kota bersengketa di Mahkamah Konstitusi kecuali Kota Dumai sehingga pasangan Zul AS-Eko Suharjo (Walikota-Wakil Walikota) secara otomatis menjadi pemenang dengan meraih total 32.618 suara sah yang ditetapkan oleh KPUD Dumai tanggal 22 Desember 2015 yang lalu. Dan SAH sebagai Walikota dan Wakil Walikota 5 tahun mendatang.
Tentu kita berharap bahwa SUARA-SUARA yang bersengketa yang kita percayakan kepada hakim-hakim di MK untuk memutuskan Perselisihan hasil Pilkada (PHP) tersebut dengan KEPUTUSAN MURNI bukan seperti persidangan sebelumnya yang menyeret Akil Muhktar ke ranah hukum. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap ketua Mahkamah Konstitusi terkait suap kasus sengketa pemilihan kepala daerah (Pilkada) Kabupaten Gunung Mas di Provinsi Kalimantan tengah.
Dan harapan besar itu kita tumpukan kepada Ketua MK sekarang. Itu sudah menjadi komitmen ketua Mahkamah Konstitusi, Arief Hidayat bahwa mereka tidak bisa mengabaikan apalagi melanggar undang-undang. Sebab MK adalah penjaga konstitsusi. “Sumpah saya di hadapan Presiden saya akan menjalankan UUUD dan peraturannya sepenuh-penuhnya dan selurus-lurusnya” Ujar Arief saat ditemui di Ruang Media Center MK, Jakarta, Rabu (Tribune Pekanbaru, 7 Januari 2016).
Tentu, persidangan kali ini juga pertaruhan hakim MK untuk tidak masuk pada lubang yang sama dengan kasus Akil Muhktar yang merusak citra dan integritas MK. Sebab 147 permohonan PHP dari 132 daerah menggantungkan harapan pada keputusan MK. semoga

Komentar