PENGUATAN SISTEM PRESIDENSIAL MELALUI PERAMPINGAN PARTAI POLITIK (Pasca ditetapkannya 10 Parpol dalam Pemilu 2014) Ditulis oleh : IKHSAN FITRA
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat menetapkan 10
(sepuluh) partai politik untuk ikut dalam pemilihan umum legislatif pada tahun
2014 mendatang. Kesepuluh partai politik berdasarkan nomor urut adalah Partai NASDEM,
PKB, PKS, PDI-P, GOLKAR, GERINDRA, DEMOKRAT, PAN, PPP DAN HANURA. Penetapan ke
10 partai politik tersebut berdasarkan hasil verifikasi administrasi dan
faktual yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Pasca reformasi yang ditandai dengan runtuhnya
kekuasaan era Orde Baru dengan tumbangnya presiden Soeharto dari tampuk
kekuasaan membawa sebuah perubahan pada sistem ketatanegaraan Indonesia dengan
melakukan perubahan-perubahan konstitusi. Ini dapat dilihat dari munculnya partai
politik baru yang hampir mencapai ratusan partai politik meskipun hanya 48
partai politik yang berhak maju ikut pada Pemilu tahun 1999. Memang pasca
reformasi setiap mengikuti pemilu, partai politik terus bermunculan baik partai
yang tidak memiliki wakil-wakilnya di parlemen maupun partai baru karena adanya
suatu kepentingan.
Runtuhnya era Soeharto tersebut disambut masyarakat
dengan euforia yang beragam untuk menikmati kebebasan yang terkungkung. Salah satunya
adalah pembentukan partai politik sebagai corong menyampaikan aspirasi yang
selama ini tertahankan. Pada masa Orde Baru, Presiden menikmati banyak
kekuasaan khusus (executive heavy) sehingga
DPR selaku lembaga legislatif tidak lebih dari sekedar tukang ketok palu tanpa
diberikan peran yang besar untuk menjalankan tugas dan fungsi yang semestinya.
Dominasi kekuasaan Presiden ini telah memberikan peluang yang sangat besar bagi
presiden untuk menyalahgunakan kekuasaan karena setiap kebijakan diambil tanpa
perlu berkonsultasi dan meminta pertimbangan dari Dewan Perwakilan Rakyat
(eksekutif). Kekuasaan presiden pada saat itu sangat obsolut karena penyeimbang kekuasaan yaitu DPR dan MPR tidak
berdaya dalam dominasi kekuasaan eksekutif. Presiden Soeharto dapat bertahan
dalam lima kali pemilihan umum karena tidak berfungsinya lembaga lain terutama
DPR (legislatif).
. Pada masa pemerintahan Soeharto peran eksekutif
sangat besar sedangkan pada pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) kewenangan
legislatif sangat dominan. Ini dapat dilihat ketika DPR (legislatif)
memberhentikannya sebagai presiden Republik Indonesia akibat dari kehendak
politik. Kalau kita telusuri, Indonesia yang menganut sistem presidensial
seharusnya presiden tidak bisa diberhentikan di tengah jabatan apalagi oleh
suatu kehendak politik (political will).
Jimmly Asshiddiqie dalam bukunya Konstitusi & Kosntitusionalisme Indonesia
menyatakan bahwa salah satu ciri sistem pemerintahan presidensiil dalam
hubungannya dengan lembaga parlemen, presiden tidak tunduk kepada parlemen,
tidak dapat membubarkan parlemen, dan sebaliknya parlemen juga tidak dapat
menjatuhkan presiden dan membubarkan kabinet sebagaimana dalam praktek sistem
parlementer. Hal ini diatur dalam UUD 1945 pasca amandemen pasal 7A yang
berbunyi “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa
jabatannya oleh Majelis Permusayrawatan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan
Rakyat, apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden. Begitu juga dengan pasal 7C yang berbunyi
“Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat”.
Terjadinya perampingan partai politik setidaknya
akan memperkuat sistem presidensial yang dianut dalam menjalankan pemerintahan dengan
pembagian kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif (trias politica) secara berimbang. Dengan adanya check and balances ini, kekuasaan negara
dapat diatur dan dikontrol dengan kekuatan antar dua lembaga ini yaitu eksekutif
(selaku yang menjalankan undang-undang) dengan lembaga legislatif (selaku
pembuat undang-undang) dan tidak terjadi arogansi kelembagaan terhadap suatu
peran dan kebijakan yang dilahirkan.
Kehadiran partai politik sebagai suatu alat untuk
mencapai tujuan dan memperjuangkan aspirasi melalui wakil-wakilnya di
legislatif hendaknya berjalan sesuai dengan mekanisme dan fungsi yang telah
digariskan. Namun yang terjadi di Indonesia (pasca reformasi) kepentingan
politik lebih dominan daripada kepentingan publik sehingga partai politik tidak
mengakar ke publik akibat perbedaan pendapat antara elit politik terhadap suatu
kepentingan tertentu. Adanya miltipartai ini mengakibatkan presiden dalam
pengambilan keputusan selalu menimbang dampak politik, lebih-lebih partai
koalisi yang pada akhirnya akan menjadi bumerang terhadap kekuasaan yang
diembannya. Sehingga presiden terikat oleh kekuatan partai politik dan dapat
didikte oleh kekuatan partai politik tertentu. Hal ini jauh berbeda dengan
sistem presidensil di Amerika Serikat. Di Amerika Serikat, apabila tidak
terjadi kesepakatan antara presiden dan legislatif tidak berdampak kepada stabilitas
pemerintahan apalagi mengancam posisi presiden. Sedangkan di Indonesia, apabila
tidak terjadi kesepakatan antara presiden dengan legislatif, partai politik
memainkan perannya untuk menggoyang kebijakan (keluar dari komitmen koalisi
atau ancaman menarik menteri dari parpol yang bersangkutan dari kabinet ) apalagi
kebijakan yang dianggap merugikan partai politik. Sehingga banyak energi Presiden
terbuang untuk melakukan lobi-lobi politik demi kestabilan roda pemerintahan
serta langgengnya kekuasaan sampai akhir jabatan. Padahal dalam konstitusi
menyatakan bahwa Indonesia menganut Sistem Presidensiil namun dalam prakteknya
Indonesia meyelenggarakan sistem parlementer. Ini dapat dilihat ketika
pembagian kursi menteri dari lobi-lobi dan kepentingan politik. Belum lagi
terjadinya polarisasi ideologi dalam partai politik yang terjadinya
mengelompokkan untuk memperjuangkan aspirasi masing-masing. Seharusnya Presiden
selaku Kepala eksekutif yang yang dipilih secara langsung oleh rakyat bersifat
mandiri dan bebas dari intimidasi parlemen.
Meskipun partai politik di Indonesia masih banyak
setidaknya dengan adanya 10 (sepuluh) partai politik yang akan mengikuti Pemilu
pada tahun 2014 yang akan datang mungkin juga akan menjadi gambaran terhadap
calon presiden dan wakil presiden
setidaknya akan menjadi harapan bagi kita rakyat Indonesia agar partai
politik lebih menyuarakan aspirasi rakyat dan lebih dekat dengan konstituen
bukan pada saat dekat pemilu saja dan presiden pun melahirkan kebijakan yang
lebih pro rakyat demi kemajuan bangsa seperti yang termaktub dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 tanpa tekanan dari partai politik. Sehingga Sistem
Presidensiil yang kita anut sekarang ini semakin kuat dan partai politik pun
melakukan pengawasan terhadap kebijakan-kebijakan yang dilahirkan.Selamat
bertarung di panggung politik.
Penulis adalah
mahasiswa Pasca Sarjana UIR Jurusan Ilmu Pemerintahan dan juga mantan Ketua
IPMAKUSI Pekanbaru
Komentar
Posting Komentar