GORESAN ASAP UNTUK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



Kepada Yth: Bapak Joko Widodo (Bapak Presiden Republik Indonesia)
Di_
Jakarta

Dengan hormat,
Terlebih dahulu maafkan saya pak yang terlalu lancang membuat goresan hati ini kepada Bapak, padahal begitu banyak pekerjaan yang harus Bapak selesaikan. Menstabilkan rupiah yang tak berdaya menghadapi Dolar, PHK yang semakin tak terbendung, ekonomi yang sangat sulit, dan turunnya nilai jual komoditas utama masyarakat seperti karet dan sawit. Terlalu berat beban yang Bapak hadapi. Namun ijinkan saya sebagai warga negara menyampaikan penderitaan yang kami hadapi pak. Bukan penderitaan karena sulitnya ekonomi yang saya hadapi pak walaupun sebenarnya dampak ekonomi sekarang memang terasa berat bagi kami pak, tapi biarlah kami banting tulang demi hidup kami, yang perlu Bapak pikirkan cuma bagaimana makhluk yang bernama ASAP itu hilang dari daerah kami pak. Sungguh tak sanggup kami melawan ASAP yang dari mana kami memulainya. Memang dia terlihat oleh mata kami pak, dia berwarna putih agak gelap. Meliuk-liuk dan bergerombolan mengepung kami. Tapi ketika kami pegang dia tak beranjak pergi,malah semakin hari semakin  pekat. Cuma dengan masker seadanya kami berusaha agar dia tidak menyerang kami melalui alat pernafasan dan masuk ke paru-paru dan mengancam nyawa kami pak.

Makhluk itu memang tidak ganas pak, sangat jinak malah. Namun kalau kami dikepung terus menerus  menjadi penyiksaan bagi kami. Sebab kami susah bernafas dan mengancam nyawa kami. Anak saya yang berumur 3 tahun tiba-tiba muntah, badan panas tinggi, batuk tiada henti, badannya gemetaran pak. Siang malam saya bersama istri saya bergantian menjaganya walaupun sebenarnya istri saya dalam keadaan hamil 7 bulan. Namun terpaksa kami lakukan pak, sebab mata saya tidak bisa terbuka 24 jam. Ada saatnya waktu tidur. Begitu juga istri saya, walaupun dalam kondisi hamil dia tetap memaksakan diri menjaga anak yang lahir dari rahimnya. Bagaimanapun naluri orang tua tidak akan tega melihat orang yang disayanginya teraniaya dan menderita karena sakit. Sebenarnya dia juga butuh banyak istirahat agar dia selalu bugar pada masa kehamilannya. Namun karena sang anak tak bisa ditinggalkan sendiri kami selalu siaga menjaganya. Setelah anak kami sembuh, dia lagi yang terpapar oleh asap. Kepalanya pusing, perut mual. Timbul kekhawatiran janin yang dikandungnya teganggu pak. Hati siapa yang tidak sedih. Betulkan pak?

Saya tidak bisa melarang dia beraktifitas diluar rumah pak. Meskipun dia hamil dia tetap menjalankan tugasnya sebagai istri dan ibu yang baik buat kami seperti belanja dapur untuk menyiapkan menu makanan kami sehari-hari di sebuah warung di komplek kami tinggal dan menjemur pakaian diluar rumah. Apalagi anak saya yang tidak bisa dilarang bermain diluar rumah sebab biasanya tiap pagi dia asyik dengan kawan-kawannya, begitu juga dengan sore dan malam hari. Sekarang sudah hampir 2 bulan dia tidak melakukan aktifitas rutinnya. Sudah kami bilang “asap nak, nanti kamu sakit”. Dia malah menangis agar tetap diperbolehkan main.

Pak, kita dengar di televisi dan media massa/sosial, banyak yang menderita sakit bahkan ada anak balita yang meninggal karena asap, ada seorang pemuda meninggal karena asmanya kambuh akibat asap, dan para lansia yang berusaha bernafas menggunakan bantuan oksigen dengan nafas tersengal-sengal. Mau mengungsi kemana akan kami tuju pak, disetiap sudut di provinsi kami Riau ini semuanya diselimuti asap pak. Ke pulau Jawa, tak mungkin kami tempuh kalau kami tak tahu kemana tempat berlindung.

Pak, kami sebenarnya tak meminta muluk-muluk. Kami hanya ingin melihat bagaimana usaha pemerintah betul-betul memadamkan api agar kami sebagai warga negara merasa dilindungi dan diperhatikan oleh pemerintah. Tak ada yang lain selain bentuk usaha itu. Ini yang tidak kami lihat pak. Malah semakin hari asap semakin pekat, titik api semakin banyak, dan di papan ISPU (Indeks Standar Pencemaran Udara) menunjukkan level berbahaya. Pemerintah seakan menunggu api dan asap itu hilang sendirinya. Mungkin ada usaha yang Bapak lakukan tapi kami melihat belum maksimal. Kalau usaha pemerintah sudah maksimal, api tak kunjung padam, asap tak juga hilang, para pembakar sudah ditangkap dan dihukum berat, kami menerima ini sebagai musibah yang harus kami terima pak. Kami siap menghadapi musibah ini dan siap menghadapi kematian meskipun pada kenyataannya kami tak sanggup merasakan bagaimana sakitnya kematian itu. Tapi kematian kami oleh asap akibat ketidakpedulian negara itu yang tidak bisa kami terima pak.

Namun seandainya kami tetap dibiarkan begini dengan kepungan asap dan menunggu ajal menjemput, ijinkan kami berwasiat kepada Bapak, jaga Republik ini baik-baik pak dan kuburkan kami dengan layak sesuai dengan kepercayaan kami masing-masing. Semoga Bapak diberikan kekuatan untuk memikul amanah yang sangat berat ini dan maafkan atas kelancangan saya ini.
Salam dari saya IKHSAN FITRA Mw
(Warga Riau yang tak tahu lagi mengadu ke siapa)

Komentar